Epistemologi Sebagai Cabang Ilmu Filsafat

Pendahuluan

Mengapa epistemologi dikatakan sebagai cabang ilmu filsafat? Bahkan menjadi cabang ilmu filsafat yang sangat pokok. Jawabannya adalah karena epistemologi berkaitan dengan persoalan-persoalan pengetahuan manusia. Pertanyaan tentang “apakah yang dapat saya ketahui” merupakan persoalan pokok dalam filsafat sejak zaman yunani purba sampai dengan zaman sekarang ini. Semenjak abad renaissance persoalan tentang “pengetahuan” masih menjadi perdebatan para filsuf. Pertanyaan mendasar tentang masalah ini menyangkut: apakah watak pengetahuan manusia itu? Apakah akal manusia dapat mengetahui? Dari mana sumber pengetahuan itu? Persoalan-persoalan seperti ini membawa implikasi yang sangat fundamental bagi perkembangan manusia (Titus, 1984).

Persoalan Pokok Kajian Epistemologi

Secara umum terdapat tiga persoalan pokok dalam kajian epistemologi (Titus, 1984), yakni:

  • Apakah sumber-sumber pengetahuan? Darimana pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana kita dapat mengetahui? Permasalahan ini merupakan problem asal (origin).
  • Apakah watak pengetahuan itu? Adakah dunia yang riil di luar akal? Bila ada, dapatkah kita mengetahui? Ini semua adalah problema tentang penampilan (appearance) terhadap realitas.
  • Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? Semua ini merupakan problema tentang uji kebenaran (verification).

Dalam sejarah filsafat, persoalan-persoalan tersebut dijawab oleh dua aliran pemikiran besar yang berbeda, yaitu: rasionalisme dan empirisme. Dalam zaman modern rasionalisme dikenal sebagai filsafat kontinental karena tokohnya berasal dari eropa daratan, seperti: Renee Descartes, W. G. Leibnis, dan Barukh Spinoza. Sementara empirisme dikenal sebagai filsafat Inggris karena tokoh-tokoh utamanya berasal dari Inggris, seperti: John Locke, David Hume, dan Berkeley (Keraf, 2001).

Aliran rasionalisme berpendapat bahwa akal manusialah yang dapat mengungkapkan prinsip-prinsip tentang kebenaran pengetahuan. Menurut mereka, hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita dapat sampai pada pengetahuan yang sebenarnya. Menurut kaum rasionalis, sumber pengetahuan adalah akal budi manusia. Secara tegas mereka menolak anggapan bahwa manusia dapat menemukan pengetahuan melalui panca inderanya.

Salah seorang tokoh rasionalis besar adalah Renee Descartes. Ia mengembangkan pikiran-pikirannya dengan meragukan seluruh keyakinan dan pengetahuan kita. Keraguan ini merupakan sebuah metode yang tepat untuk mendapatkan ide yang jelas dan tepat. Dengan keraguan metodis, ia menempatkan keraguan sebagai alat untuk menyingkirkan semua prasangka, tebakan, dan dugaan yang menipu; yang karenanya menghalangi kita untuk sampai pada pengetahuan yang benar. Berdasarkan hal tersebut Descartes beranggapan bahwa hanya akal budi yang dapat membuktikan tentang kebenaran yang pasti dalam pengetahuan manusia (Keraf, 2001). Pemikiran-pemikiran yang bekembang berdasarkan rasionalis ini memberikan sebuah pengetahuan aksiomatis yang lepas dari pengamatan dan pengalaman panca indera manusia, seperti halnya pada ilmu matematika atau geometri.

Semetara itu kelompok empiris berbeda dengan kaum rasionalis, berpendirian bahwa semua pengetahuan itu pada dasarnya datang dari pengalaman indera; karena itu pengetahuan kita terbatas pada hal-hal yang dapat dialami. Hal yang paling utama untuk sampai pada pengetahuan yang benar adalah adanya data dan fakta yang ditangkap oleh panca indera kita. Dengan kata lain, sumber pengetahuan adalah pengalaman dan pengamatan panca indera yang memberi data dan fakta bagi pengetahuan kita. Atas dasar itu semua pengetahuan manusia bersifat empiris. Kaum empiris menegaskan bahwa semua proposisi yang kita ucapkan merupakan hasil laporan dari pengalaman atau yang disimpulkan dari pengalaman. Kemudian ditegaskan pula bahwa kita tidak memiliki konsep atau ide apapun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Dalam hal ini akal budi manusia hanya dapat berfungsi dengan berlandaskan pada realitas tersebut; akal budi hanya mengkombinasikan pengalaman indrawi untuk sampai pada pengetahuan.

Diskusi tentang kebenaran ilmu tersebut merupakan persoalan-persoalan klasik yang menunjukkan begitu rumitnya masalah yang mendasari epistemologi sebagai landasan ilmiah. Karena itu pembahasan epistemologis tak dipungkiri sebenarnya merupakan pembahasan tentang landasan ilmu khususnya yang berkaitan dengan bagaimana sebuah ilmu (melalui ilmuan dan penelitiannya) menemukan kebenarannya (Pendit, 2013). Pendit (2013) lebih lanjut menjelaskan bahwa setiap teori yang digunakan dalam penelitian ilmiah, yang kemudian diyakini kebenarannya oleh si peneliti amat berkaitan dengan pandangan epistemologis si peneliti. Selanjutnya teori meskipun tidak secara eksplisit menyatakan tentang landasan epistimologis pada dasarnya adalah menegaskan keyakinan epistimologis seperti apa dari bangunan teori yang digunakan para ilmuwan tersebut.

Daftar Pustaka

  • Titus, Smith, Nolan, 1984, Persoalan-Persoalan Filsafat, diterjemahkan oleh H.M. Rasjidi. PT Bulan Bintang, Jakarta.
  • Keraf, A. Sonny, Michael Dua, 2001, Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Kanisius, Yogyakarta.
  • Pendit, Putu Laxman, 2012, “Persoalan Epistemologi Dalam Ilmu Perpustakaan dan Informasi,”  dalam Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional Information for Society : Scientific Point of View, Jakarta : PDII LIPI.

You May Also Like

About the Author: Webagus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *