Corporate Social Responsibility (CSR)

Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)

Carroll (1979) mendefinisikan CSR sebagai melakukan kegiatan usaha dengan cara yang menguntungkan secara ekonomis, hukum kekal, etika dan mendukung secara sosial. Dahlsrud (2008) menjelaskan dan menyimpulkan bahwa CSR secara konsisten mengandung 5 dimensi, yaitu dimensi lingkungan, dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi stakeholder, dan dimensi kesukarelaan.

Menurut Dahlsrud (2008) dimensi lingkungan merujuk pada lingkungan hidup dan mengandung kata-kata seperti “lingkungan yang lebih bersih”, “pengelolaan lingkungan”, “environmental stewardship”, dan “kepedulian lingkungan dalam pengelolaan operasi bisnis”. Dimensi sosial yaitu hubungan antara bisnis dan masyarakat dan tercermin melalui frase-frase seperti “berkontribusi terhadap masyarakat yang lebih baik”, “mengintegrasi kepentingan sosial dalam operasi bisnis”, dan “memperhatikan dampak terhadap masyarakat”. Dimensi ekonomis menerangkan aspek sosio-ekonomis atau finansial bisnis yang diterangkan dengan kata-kata seperti “turut menyumbang pembangunan ekonomi”, “mempertahankan keuntungan”, dan “operasi bisnis”.

Dimensi Pemangku Kepentingan (Stakeholder) yang tentunya menjelaskan hubungan bisnis dengan pemangku kepentingannya dan dijelaskan dengan kata-kata seperti “interaksi dengan pemangku kepentingan perusahaan”, “hubungan perusahaan dengan karyawan, pemasok, konsumen dan komunitas”, dan “perlakukan terhadap pemangku kepentingan perusahaan”. Dimensi Kesukarelaan (voluntary) sehubungan dengan hal-hal yang tidak diatur oleh hukum atau peraturan yang tercermin melalui frase-frase seperti “berdasarkan nilai-nilai etika”, “melebihi kewajiban hukum (beyond regulations)”, dan “voluntary” (Dahlsrud, 2008).

Menurut Buhr (1998) aktivitas sosial perusahaan dapat dinilai melalui dua Pendekatan. Pendekatan pertama yaitu aktivitas atau kinerja perusahaan yang sesuai dengan nilai sosial (kinerja corporate social responsibility) dan pendekatan kedua yaitu pengungkapan apa yang telah dilakukan perusahaan yang sesuai dengan nilai sosial (pengungkapan corporate social responsibility).

Kinerja Corporate Social Responsibility

Keberhasilan aktivitas CSR dapat diukur melalui indikator yang disebut dengan corporate social performance. Corporate social performance merupakan hal yang cukup penting bagi citra (reputation) perusahaan, terutama untuk jangka panjang perusahaan yang dapat memberi kontribusi cukup berarti dalam pengembangan berkelanjutan bagi perusahaan. Dengan demikian corporate social performance dapat menjadi salah satu ukuran bagi citra atau reputasi perusahaan.

Kinder, Lydenberg, and Domini (1990) merumuskan sebuah index sebagai ukuran corporate social performance dalam website www.kld.com, yang kemudian dikenal dengan istilah KLD index. Istilah KLD index diambil dari gabungan ketiga nama peneliti yaitu Kinder, Lydenberg, and Domini. KLD index ini menyediakan informasi penelitian sosial pada perusahaan-perusahaan AS bagi komunitas investasi. Database KLD terdiri dari lebih dari 1.000 perusahaan publik, yang masing-masing telah dibahas di berbagai dewan isu-isu sosial. KLD menyaring setiap perusahaan setiap tahunnya, dengan menggunakan berbagai sumber. Setiap perusahaan dinilai sebagai netral, concern or strength, or major concern or major strength dalam setiap delapan kategori. Tingkatan-tingkatan KLD dalam delapan kategori sosial yang relevan, dengan menggunakan kriteria umum berikut: community, diversity (formerly treatment of women and minorities), employee relations, environtment, product, and negative screens (south africa, military, and nuclear power). Index ini berguna sebagai dasar bagi investor yang bertujuan untuk berinvestasi pada perusahaan dengan penilaian yang tinggi dan menghindari perusahaan yang tidak sesuai dengan kriteria tertentu.

Menurut Fauzi (2004) untuk penelitian di Indonesia sendiri belum ada standar ukuran yang jelas dalam mengukur corporate social performance, sehingga proksi yang digunakan pun sangat bervariasi. Salah satu ukuran yang bisa digunakan untuk mengukur corporate social performance adalah biaya yang harus perusahaan keluarkan untuk melaksanakan aktivitas corporate social responsibility (Itkonen, 2003). Tax avoidance merupakan segala bentuk kegiatan yang memberikan efek terhadap kewajiban pajak, baik kegiatan diperbolehkan oleh pajak atau kegiatan khusus untuk mengurangi pajak. Biasanya tax avoidance dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan hukum pajak yang terkesan tidak melanggar hukum perpajakan (Dyreng, Hanlon, dan Maydew 2008). Wajib pajak selalu menginginkan pembayaran pajak yang kecil. Adanya keinginan wajib pajak untuk tidak mematuhi peraturan perpajakan, membuat adanya perlawanan pajak yang mereka berikan. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perlawanan pasif dan perlawanan aktif.

Pengungkapan Corporate Social Responsibility

Gray et al. (2001) menyatakan bahwa CSR disclosure merupakan suatu proses penyedia informasi yang dirancang untuk mengemukakan masalah seputar social accountability, yang mana secara khas tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan dalam media-media seperti laporan tahunan maupun dalam bentuk iklan yang berorientasi sosial. Pengungkapan CSR merupakan pengungkapan suatu informasi mengenai aktivitas sosial yang dilakukan perusahaan yang diharapkan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap perusahaan dan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan.

Menurut Ghozali dan Chariri (2007) pengungkapan dapat diartikan sebagai pemberian informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap informasi tersebut. Tujuan pengungkapan dikategorikan menurut Securities Exchange Commission (SEC) menjadi dua, yaitu protective disclosure sebagai upaya perlindungan terhadap investor dan informative disclosure yang bertujuan memberikan informasi yang layak kepada pengguna laporan.

Menurut Yuningsih (2001) pengungkapan berkaitan dengan akuntansi pertanggungjawaban sosial bertujuan untuk menyediakan informasi yang memungkinkan dilakukan evaluasi pengaruh perusahaan terhadap masyarakat. Pengaruh kegiatan ini bersifat negatif, yang menimbulkan biaya sosial pada masyarakat, atau positif yang berarti menimbulkan manfaat sosial bagi masyarakat.

Fitriyani (2012) menyatakan ada 2 jenis pengungkapan dalam pelaporan keuangan yang telah ditetapkan oleh badan yang memiliki otoritas di pasar modal. 2 jenis pengungkapan tersebut yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosure), yaitu informasi yang harus diungkapkan oleh emiten yang diatur oleh peraturan pasar modal di suatu negara dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure), yaitu pengungkapan yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh standar yang ada. Pengungkapan sosial yang diungkapkan perusahaan merupakan  informasi yang sifatnya sukarela. Pengungkapan sosial di Indonesia termasuk ke dalam kategori valuntary disclosure.

Selain perusahaan wajib melakukan kegiatan CSR, UU No. 40 Tahun 2007 pasal 66 ayat (2) tentang Perseroan Terbatas juga mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan aktivitas tanggung jawab sosialnya dalam laporan tahunan. Namun demikian, item CSR yang diungkapkan perusahaan merupakan informasi yang masih bersifat sukarela (voluntary).

Pratiwi dan Djamhuri (2004) mengartikan pengungkapan sosial sebagai suatu pelaporan atau penyampaian informasi kepada stakeholder mengenai segala aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Hasil penelitian di berbagai negara membuktikan, bahwa laporan tahunan (annual report) merupakan media yang tepat untuk menyampaikan tanggung jawab sosial perusahaan.

Sejauh ini, pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan hanya dapat diukur berdasarkan item pengungkapannya, seperti konsep pengungkapan tanggung jawab sosial yang digagas oleh GRI (Global Reporting Initiative) yang merupakan sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terus-menerus melakukan perbaikan dan penerapan di seluruh dunia. Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan menurut GRI terdiri dari 79 item pengungkapan.

Daftar Pustaka

Buhr, N. 1998. “Environmental Performance, Legislation and Annual Report Disclosure: The Case of Acid Rain and Falconbridge”. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 11(2), 163-190.

Carroll, A. B. 1979. “A three-dimensional conceptual model of corporate performance”. The Academy of Management Review, 4(4), 497-505.

Dahlsrud, Alexander. 2008. “How Corporate Social Responsibility is Defined: An Analysis of 37 Definition”. Corporate Social Responsibility and Environmental Management, 15, 1-13.

Fauzi, Hasan. 2004. “Identifying and Analyzing The Level of Peratices of Company’s Social Responsibility in Improving Financial Performances”. Jurnal Bisnis & Manajemen, 4(2), 150–170.

Fitriyani. 2012. “Keterkaitan Kinerja Lingkungan, Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR), dan Kinerja Financial”. http://eprints.undip.ac.id/35522/1/Skripsi_30.pdf

Ghozali, Imam dan Chariri, Anis. 2007. Teori Akuntansi, Edisi Ketiga. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Gray, R., Javad, M., Power, D., & M.and Sinclair, C. 2001. “Social and Environmental Disclosure and Corporate Characteristics: A Research Note and Extension”. Journal of Business Finance & Accounting, 28(3&4), 327-356.

Itkonen, L. 2003. “Corporate Social Responsibility and Financial Performance”. Hilsinki: Institute of Strategy and International Business.

Pratiwi, S.P., dan Ali Djamhuri, 2004. “Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik-praktik pengungkapan sosial: studi pada perusahaan-perusahaan high profile yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. TEMA 5 (1) : 1-21. www.kld.com

Yuningsih, 2001. “Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Praktek Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Publik”. FE UMM, Malang.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
× How can I help you?